Kursi dan Kuasa

ILLUSTRATION "KURSI DAN KUASA", BACKGROUND PHOTO COURTESY BY CHRISTIE'S.COM,

Jean-Léon Gérôme (French, 1824-1904), VIA PINTEREST

 

Pada malam akhir Juli, bulan muncul setengah seperti makanan leker jalanan di langit gelap dan silap. Suasana hiruk pikuk menghiasi di kedai kopi menengah atas, harga murah dan gengsi mahal, entah dilema atau ego antara individu yang hadir disana. Tiap pengunjung tampak menggunakan gaya pakaian ala ibu kota yang menjadi tempat matahari terbenam, padahal kedai itu sendiri berlokasi di kota pelajar istimewa, tempat orang-orang mistik dan para pemberontak realitas. Bagi masyarakat sini, nasi bisa diganti puisi, air diganti syair dan angka dengan kata. Idealisme merupakan kodrat rakyat sini, berbeda halnya dengan rakyat disana yang cenderung materialistik dengan dalih realistis akan masa depan.

Antrian di kasir memang ramai sebagaimana kepadatan parkiran motor dan mobil, sececah jumlah kursi kosong, menunggu para pejuang dan pemikir. Berdiri sembari menunggu antrian kasir ini sungguh melelahkan, harus sanggup berdiri dan menjadi objek 'prejudice' pop estetika saat ini. Entah mereka para malaikat skena yang mencatat kebenaran dan kepalsuan 'culture' menggelitik nadi leher tiap orang. Ketika diri lelah dan merasa terancam dalam suatu situasi, entah keramaian dan kebingaran sebagai juri popularitas atau eksistensi, sebuah Kursi akan dicari dan dibutuhkan.

Duduk di Kursi akan memberikan rasa nyaman dan aman, solusi atas kenastapaan dunia yang praktis. Barangkali bagi sang introvert saat ia berdiri letih hingga nggetih di tengah hiruk pikuk, Kursi adalah tempat spesial yang dibutuhkan, zona nyaman yang lepas dari rantai makanan ruang dan waktu. Selain itu, Kursi juga merupakan simbol kodrat seseorang, ruh. Tergantung Kursi apa yang ia dudukan secara darah mendaging. Apalagi jika benda itu memiliki kehendak untuk berkuasa, kuasa atas umat dan bangsa, dunia dan akhirat.

Menjelang 2024, orang-orang menggelontorkan miliaran uang untuk sebuah Kursi. Tempat duduk yang seharusnya menjadi lidah rakyat, didudukan menjadi lidah diri hingga enggan untuk duduk di Kursi yang lain. Untuk kawula muda, mereka menggelontorkan uang kepada psikiater untuk menentukan kursi apa yang ia pilih guna tempat mengaso ketika berziarah kelana di tiap dirinya. Tempat duduk itu akan menjadi saksi hidup manusia, bagaimana ia berhadapan dengan ketidakbenaran sebagai bukti kehidupan dan kebenaran sebagai bukti bahwa ia hidup.

Namun, jika duduk di Kursi yang sama hingga rebahan di tanah esok nanti, tampak sebuah ketidakaberanian atas kehidupan yang dijalankan. Sesungguhnya ia yang hidup dan mampu duduk di Kursi yang berbeda, sebagaimana diluar sana bahwa tiap orang berbeda dan berubah, ia menjadi yang paling berkuasa.