Mendampingi

 

MENDAMPINGI (2022) BY DILUNA PICTURES

Matahari tergelincir ke arah barat, senja terpukul ke dalam kegelapan, azan terkumandang ke segala penjuru. Sekumpulan anggota salah satu divisi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sedang rapat harian dirumah kecil, daerah condong catur. Mereka membahas permasalahan terkait acara bedah buku. Ketua divisi berdiri ditengah-tengah: “Saya ulangi, tolong hari ini jika ada masalah atau keluhan silahkan dibicarakan sekarang, ngumpung kita bisa berkumpul seperti ini”. Salah satu anggota bernama Dedi bertanya kepada ketua: “Bang, untuk program kerja saya, sepertinya lebih baik diundur saja karena pada bulan ini kan liburan semester, anak-anak kampus pasti pada pulang. Mungkin diundur sampai mulai perkuliahan lagi”. Ketua melihat Dedi dengan muka sedikit emosi: “Coba kamu pikirin Ded, dari kemarin setiap program kerja yang kita bikin pasti diundur! Kemarin sanggah uang gedung diundur, festival Republik diundur, Seminar diundur, semua diundur. Kalau seperti ini terus reputasi kita turun. Mau taro mana muka kita ?

Semua anggota diam dan hanya memandang, seperti anak yang dimarahi bapaknya. Dedi menundukkan pandangan, dirinya tak berdaya menghadapi rajaman kata-kata. “Iyaa tum, nanti saya pikirkan. Sebelumnya saya minta maaf atas kelalaian saya”, Jawab Dedi dengan nada rendah. Ia terlihat frustasi dan ingin meluapkan emosi, namun karena sang ketua memiliki reputasi diatas Dedi, ia menyudahi segalanya dengan diam dan menahan. Ketua pun melihat Dedi dan berkata: “Kenapa kamu Ded, mau marah kamu sama saya ?”

Dedi pun menjawab: “Tidak tum, saya tidak marah. Cuman lagi mikir buat proker saya dan teman-teman”. Ketum hanya diam dan melihat Dedi, lalu membuang muka seperti gadis manja. Dedi kembali diam dan menahan.

Seketika Dedi pulang ke kost dan membuka ponsel seluler, melihat beberapa status instagram milik beberapa teman. Ada yang berfoto bersama pejabat dan politisi dengan makmur, ada yang berfoto bersama kekasihnya dengan intim dan ada yang berfoto bersama keluarganya dengan harmonis. Ia menaikan alis, menarik dan membuang nafas dengan panjang. Saat hendak memasukan ponsel ke saku celana, ada yang menelpon. Seorang teman kuliahnya dulu bernama Liem menelponnya dan Dedi bergegas mengangkat, “Halo, opo lek ?”

“Ayo nongkrong Ded, iki cah-cah do ngejak holiday ki bulan ngarep, ngumpung preinan semester”, ajak Liem dengan semangat. “Gek raiso lek aku, bulan ngarep ki giliran proker ku ee gek iki ketua ku sirah e koyo watu, dieyeli malah nyente trembelane og!”, ujar Dedi dengan sedikit kecewa. “Walahh pisan-pisan Ded ngumpul ro cah-cah. Kapan meneh iso holiday bareng ngeneki, proker e diundur wae Ded… ngko akdewe bantu nek masalah ketum mu ngko nguring. Tak bantu boikot ben koe sesok le munggah dadi ketum hahahaha”, Liem menjawab. “Wah edan po koe ki??? Yo pie aku mung ngisorane raiso berbuat okeh isone mung ngetotke sek”, jawab Dedi sembari menyenderkan kepala ke tembok.

“Alahh suwe koe ded opo-opo dipikir dowo, intine wae meh melu po ora?” Dedi seketika diam dan menjawab: “Ora sek Lim aku kudu nyiapke kebutuhanku nggo proker iki, yo raketan ketum ku nyebai pie-pie kudu ditotke”. “Koe ki ded ded, mbien koe ki iso mlebu BEM mergo sopo ? inget ora”, Liem menjawab dengan nada spontan dan tinggi. “Iyo koe Lim koe, njuk ngopo nek wes ngono ?”, dedi menjawab. “Yo diinget inget wae ded, aku yo wegah koe balas budi neng aku. Yoweslah ded aku males ribet koe yo gek mumet, percuma omongan akeh, wes yo sukses slalu.” Liem menyudahi percakapan nya dengan Dedi.

Dedi pun masuk kedalam kamar dengan perasaan yang gundah dan raut muka emosi, ia mengecharge HP nya lalu berkaca di depan kaca cermin. Seketika Dedi memukul dinding kamarnya untuk meluapkan emosi yang dialaminya. “Jancok ! Ketua wedus, marai kabeh wong dadi ruwet cok !”, dengan frontal Dedi mengumpat. Dedi diam sebentar sembari mengatur nafas, ia melihat ke kaca lagi dan berjalan menghampiri. Ia melihat refleksi dirinya, wajah semakin didekatkan kearah kaca seakan-akan dirinya sedang bermimpi. Kemudian ia mengusap tangan kanan ke mukanya, dan menjauhi kaca. Tiba-tiba ada seseorang memanggil Dedi dari luar kamar: “Ded, dedi”.

Dedi berjalan keluar dari kamar, ternyata ada sahabat SMA-nya bernama Benguk berkunjung dengan membawa buku. Ia menyapa Dedi dengan hangat, menanyakan kabarnya. Mereka berdua duduk di bangku depan kamar dan menyalakan rokok, Dedi menawari rokok kepada Benguk, meminjamkan korek dan menghisap rokok yang terbakar hingga jiwa muda terbakar. Benguk merokok seperti orang yang baru makan setelah bermingu-minggu tak makan, ia menoleh ke arah Dedi yang hanya diam dengan setengah kosong dan berkontemplasi. Benguk pun menatap kedepan sebentar  dan menoleh ke arah Dedi lagi sambil memegang pundaknya, “Koe kenopo e Ded ?”. Dedi pun pun membuang nafas dan tertawa kecil sembari menjawab: “Oraa lek, rapopo”. Benguk tampak sudah tahu apa yang terjadi pada Dedi, ia pun diam merokok dan melihat kedepan. Dedi kemudian menyenderkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata sejenak dengan sedikit tundukan kepala, menaruh kedua tangan saling menggenggam diatas paha dan berkata: “Ngopo yoo nguk, Aku mesti ono wae masalah. Nek tak hadapi malah nggawe masalah liyane, padahal ki sepele tur malah dadi gede”.

Yoo malahane noo, kan koe fighter hehehe”, ujar Benguk dengan tertawa bangga. “Ora koyo ngunu barang! Wola cah asu”, Dedi berkata dengan sedikit emosi, mengira bahwa Benguk membercandainya.

“Aku ki mau bar rapat divisi BEM, mbahas proker masing-masing. Aku diseneni ketumku mergane kan jane prokerku kan bulan iki nguk, tur tak undur soale nek bulan iki tak jalanke lak mesti sepi le teko, preinan semester sopo sik ora gelem holiday ro bali kampung. Tur yoo ketumku gur iso nyocot tok, ora ngekei solusi po bantuan nggo aku, cen wedus og ketumku!

Njuk bar rapat BEM kae aku ditelpon ro Liem, wonge ngejak Holiday bulan ngarep ro cah fisip, paling yo nginep villa po camping, tur yo kan bulan ngarep prokerku. Bar kui yoo ngunu kaelah, reti dewe to… Mbuh kabeh sik tak temuni mesti mangkeli e, asu og”.

Curhatlah Dedi kepada Benguk, seakan-akan curhatan dari hati ke hati.

“Owalaa, nek koyo ngunu yo rasah melu wae le holiday. Kan koe wes bertanggung jawab nggo prokermu, nek masalah ketum mu yo sabar wae, lakoni wae opo sik disuruh, nek koe salah yo gari tanggung jawab wae. Jenenge wae yo berproses Ded”, Jawabnya dengan bijaksana seperti seorang Bapak yang menasihati anaknya.

“Hmm iyo sih. Kesel aku ki neng ngarep wong-wong terlihat kuat, padahal aku lemah, kui kabeh gur demi image tok. Sok-sok aku rakuat le ngetutke, koyo do nganggo pakaian le wangun, nduwe mobil po motor, nduwe yang, masalah uang enteng. Sedangkan aku pie? Privilage keluarga raono, bapakku wes meninggal, uang yo angel, adiku wes do mulai sekolah, ibukku kerjo dewe nganti kekeselan, nyerakki wedokan bola-bali ra dadi”, ujar Dedi dengan patah-patah, meluapkan segala emosi namun tidak membabi buta.

“Uwes-uwes, kui wes diatur ro gusti Allah. Sopo reti pas koe lulus kuliah, koe kerjo neng pemerintahan po neng luar negeri, dadi sugih, entuk jodoh ayu. Koe kan relasi kanca kuliah ro alumni kan akeh, koe yoo pinter barang to, wes kui disyukuri. Isih akeh wong-wong sik ora mampu, sik raiso koyo koe”.

Dedi pun spontan menjawab: “Tur nek aku ora koyo ngunu, aku bakal keangelan cuk le nggolek konco po relasi. Lingkungan ku koyo ngunu lek soale, ora lingkungan sik ngetutke aku tur aku sik ngetutke lingkungan, cen kudu pie meneh nguk!”, balas Ded dengan sedikit nada tinggi kepada Benguk.

Mereka berdua diam sejenak sambil menghabiskan rokok. Tiba-tiba Benguk batuk keras karena Rokok, Dedi pun terkejut dan menasihatinya untuk berhenti Rokok sebentar, namun Benguk tertawa dan berkata seolah-olah batuk tersebut hanya masalah kecil.

Benguk pun mengambil rokok lagi dan menyulutnya, kemudian berkata: “Koe saiki nek ono masalah, dipikir sik baru dirampungke. Ora ndang-ndang jawabane iki po kui, sok-sok koe kan opo-opo gelud to. Karo nek iso koe dadi uwong ki opo onone, jujur wae. Rasah macak wong sugih po priyayi ngunu. Kabeh uwong, bahkan wedok ki seneng wong sik jujur Ded, apa adanya”.

“Iyoo sih nguk”, dengan nada rendah dan memandang dalam benguk.

*

“Yoo intine berproses sik, hasile ngko belakangan. Percuma opo-opo dilakoni tur ora mikir sik. Ada seorang filsuf  pernah berkata: Pohon yang ingin tumbuh ke surga, harus mengirimkan akarnya ke neraka. Yo nek meh sukses kudu angel sek, aku yakin Ded koe iso sukses. Aku dadi saksi sejarahmu mbien, koe mbiyen pas SMA nakal koyo pie, mbien wedi nyedaki wedok, saiki rodo wani. Sante too”, ujar Benguk.

Seketika Benguk menoleh ke balkoni dan diam sejenak, ia pun berkata: “Kelingan ora mbiyen koe meh bunuh diri? Koe wes pupus harapan urip, kabeh jan remuk. Untung aku teko, tak omongi tentang koe nek koe ki isih ono harapan. Wong tuamu, aku, Liem, cah-cah liyane isih percoyo ro koe. Aku yakin koe ki sukses, iso sukses nek koe ki jujur ro koe dewe, ro wong sekitar. Wes lakoni sik opo onone, rasah ngapusi. Dengan kesederhanaan mu koe iso sukses, sik penting sabar dan berproses”, Benguk memberikan petuah kepada Dedi.

Dedi pun terdiam, mengambil sebatang rokok lagi dan menyelipkan dibibirnya. Ia menyalakannya dengan korek api, langsung dihisap rokok tersebut. Kemudian dia menundukan pandangan, dan menyemburkan asap rokok.

“Nyohhh tak pinjemke buku, le masalah balekke gampang. Aku bar maca buku iki ded, juoss guandos. Tentang filsafat po urip dunia ngunu, sopo reti koe entuk ide, pesan po motivasi seko iki lek”, Benguk sembari memberikan buku ke Dedi. “Weh suwun tenan lo nguk, tumben banget maca buku we”, ujar Dedi terheran-heran.  “Aku ki maca buku mergo koe jee”, ujar benguk sambil menepuk pundak Dedi.

“Nguk, sorry nek kerep ngerepoti koe. Yoo aku jan beban konco nggo koe, wes koyo cah cilik sik kerep ngangeli bapake. Ra nyongko lah jebul koe isih kerep dolan ro aku nganti saiki hehehe, padahal wes nduwe urusan dewe-dewe. Wong koyo koe ki lahir 100 tahun pisan, jan langka nemu koyo koe. Suwun banget yoo Nguk, siap mengemban arahan mu iki hehehe.”, Dedi menjawab dengan sedikit lega dan tertawa.

Benguk pun menjawab: “Sante dap, kene siap membantu hehehe”.

Tatkala Ponsel Dedi berdering karena notif Whatsapp, Dedi pun masuk ke kamar dan mengecek ponselnya. Ternyata ketumnya memberikan bantuan berupa toleransi perpanjangan waktu dan ingin membantunya. Diakhir chat, ketum meminta maaf ke Dedi atas perlakuan kerasnya, Dedi pun menjawab dengan kerendahan hatinya. Ponsel ia cabut dari charger, saat ingin berjalan keluar ia melihat kaca cermin dan mengaca lagi dengan percaya diri dan sedikit senyum. Dedi berjalan keluar kamar.

Dedi berdiri dekat bangku tadi, membawa buku yang dipinjamnya dari Benguk. Menghisap rokok dan menyebulkan asap seakan asapnya ialah roh Benguk. Dedi berjalan dan berdiri di balkoni dan berkata: “Pohon e urung tekan surgo, koe ne wes tekan. Cen wong koyo koe ki langka nguk, tetap setia mendampingi e hehehe”. Dedi tertawa sendirian, tergema sampai ke ujung lorong. Tertawa melihat dirinya selalu bekergantungan kepada Benguk, meski ia telah tiada.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rendy Trendy

Mulut

Kursi dan Kuasa